Penolakan Permohonan Praperadilan Terhadap Penetapan Tersangka dan Penyitaan (Kajian Putusan Nomor 01/Pra.Pid/2016/PN-Mbo)
Abstract
Abstrak: Hakim praperadilan Pengadilan Negeri Meulaboh melalui putusan Nomor 01/Pra.Pid/2016/PN-Mbo telah menolak permohonan praperadilan dengan objek perkaranya penetapan tersangka dan penyitaan. Padahal penetapan tersangka tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yakni tidak adanya penetapan pengadilan untuk penyitaan dan tidak adanya bukti yang cukup untuk menetapkannya sebagai tersangka. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertimbangan hakim menolak praperadilan pemohon dan tinjauan yuridis terhadap penolakan permohonan praperadilan. Penelitian ini ingin mengkaji pertimbangan hakim menolak praperadilan dan tinjauan yuridis terhadap penolakan tersebut. Penelitian ini termasuk ke dalam kategori penelitian yuridis normatif atau dokrtinal dengan tujuan mengkaji tentang asas-asas dan kaidah hukum sesuai dengan kajian ilmu hukum. Bahan hukum primer yang digunakan yaitu UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan Putusan Nomor 01/Pra.Pid/2016/PN-Mbo, Putusan MK Nomor 21/PPU-XII/2014. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertimbangan hakim menolak praperadilan pemohon yaitu: Pertama, Penetapan tersangka baru menjadi objek praperadilan pada sejak dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PPU-XII/2014 yang memperluas objek praperadilan yakni pada tahun 2015 dan penyitaan yang dilakukan oleh Polres Aceh Barat telah memenuhi dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam perspektif yuridis, putusan hakim Nomor 01/Pra.Pid/2016/PN-Mbo masih banyak kelemahan dan kekeliruan. Pertama, hakim menyatakan bahwa penetapan tersangka bukanlah objek praperadilan sebelum adanya putusan MK, padahal praperadilan diajukan pemohon pada tahun 2016 setelah adanya putusan MK. Kedua, menurut hakim praperadilan penyitaan yang dilakukan telah sesuai padahal tidak adanya penetapan pengadilan untuk dilakukan penyitaan. Ketiga, penolakan praperadilan cenderung melanggar HAM, karena setelah ditolak hingga saat ini tahun 2018 tidak dilimpahkan kasus tersebut ke Pengadilan sehingga tidak adanya kepastian hukum bagi tersangka.
Abstract: The pretrial judge of the Meulaboh District Court through Decision Number 01 / Pra.Pid / 2016 / PN-Mbo has rejected a pretrial application with the object of his case for the determination of a suspect and confiscation. Even though the determination of the suspect is not in accordance with the provisions of the legislation, namely the absence of a court's determination for confiscation and the lack of sufficient evidence to determine it as a suspect. This study aims to determine the consideration of judges rejecting pretrial applicants and juridical review of rejecting pretrial applications. This study wants to examine the consideration of judges rejecting pretrial and judicial review of the rejection. This research belongs to the category of normative or doctrinal juridical research with the aim of reviewing the principles and legal rules in accordance with the study of law. The primary legal material used is Law Number 8 of 1981 concerning KUHAP and Decision Number 01 / Pra.Pid / 2016 / PN-Mbo, Constitutional Court Decision Number 21 / PPU-XII / 2014. The results showed that the judge's judgment rejected the applicant's pretrial, namely: First, Determination of the suspect was only the object of pretrial since the issuance of the Constitutional Court ruling Number 21 / PPU-XII / 2014 which expanded the object of pretrial namely in 2015 and the seizure by the West Aceh Police fulfill and comply with applicable laws and regulations. In a juridical perspective, the decision of judge Number 01 / Pra.Pid / 2016 / PN-Mbo still has many weaknesses and errors. First, the judge stated that the determination of the suspect was not the object of pretrial before the Constitutional Court's decision, even though the pretrial was filed by the applicant in 2016 after the Constitutional Court's decision. Secondly, according to the pretrial judge, the seizure carried out was appropriate even though there was no court ruling for confiscation. Third, pretrial refusal tends to violate human rights, because after being rejected until now in 2018 the case has not been transferred to the Court so that there is no legal certainty for the suspect.
Keywords
Full Text:
PDFReferences
A. Mukti Arto. (2017). Penemuan Hukum Islam Demi Mewujudkan Keadilan Membangun Sistem Peradilan Berbasis Perlindungan Hukum dan Keadilan. Pustaka Pelajar.
Ach. Rubaie. (2017). Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi Perspektif Filosofis, Teoritis dan Yuridis. Laksbang Pressindo.
Bagir Manan. (2007). Kekuasaan Kehakiman Indonesia dalam UU Nomor 4 Tahun 2004. FH UII Pres.
Darwan Prints. (1989). Hukum Acara Pidana (Suatu Pengantar). Djambatan.
Hartono. (2010). Penyidik dan Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum Progresif. Sinar Grafika.
Kusumastuti, E. (2018). Penetapan Tersangka Sebagai Objek Praperadilan. Yuridika, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Vol. 33(No. 1).
M. Syamsuddi. (2012). Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif. Kencana.
Moch. Faisal Salam. (2001). Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek. Mandar Maju.
Ratna Nurul Arifin. (1986). Praperadilan dan Ruang Lingkupnya. Akademika Pressindo.
Soerjono Soekanto. (1995). Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Raja Grafindo Persada.
Teguh Prasetyo. (2014). Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori, & Ilmu Hukum Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat. Grafindo Persada.
Winarno. (2013). Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan. Sinar Grafika.
DOI: http://dx.doi.org/10.22373/jms.v21i1.3923
Refbacks
- There are currently no refbacks.
Copyright (c) 2020 Media Syari'ah
All papers published in Media Syari'ah : Wahana Kajian Hukum Islam dan Pranata Sosial are licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License. |